ODISEI - BUKU KEENAM PERTARUNGAN TERAKHIR Ditulis oleh MARY POPE OSBORNE Digambar oleh TROY HOWELL Teks Copyright © 2004 by Mary Pope Osborne Artwork Copyright © 2004 by Troy Howell Diterjemahkan dari The Final Battle, karangan Mary Pope Osborne, terbitan Hyperion, New York: 2004 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Santi Paramitta Penyunting: Ferry Halim Pewajah Isi: Fadly PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id Cetakan I: Oktober 2006 M ISBN: 979-1112-05-3 Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta Isi diluar tanggung jawab percetakan Untuk Donna Bray, teriring ucapan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan PENGANTAR Pada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia misterius yang dikenal dengan nama Gunung Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang sekumpulan awan tebal ini tak pernah tertiup angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni Gunung Olimpus tidak pernah menjadi tua ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka adalah para dewa dan dewi Yunani yang perkasa. Para dewa dan dewi Olimpus memiliki pengaruh besar atas kehidupan umat manusia di dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa dan dewi ini menyebabkan seorang pria bernama Odiseus harus berkelana di lautan selama bertahun-tahun hanya untuk menemukan jalan pulang. Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, seorang penyair Yunani bernama Homer menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak saat itu, para pendongeng lain turut menceritakan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan mengesankan tersebut. Kisah perjalanan tersebut dikenal sebagai Odisei. SATU PENELOPE Sambil menantikan kabar tentang sang putra, Penelope, ratu Ithaca, memanjatkan doa kepada para dewa sambil mencucurkan air mata. Lima minggu yang lalu, putranya, Telemakus, berlayar untuk mencari Odiseus, ayahnya yang telah lama menghilang. Tak lama sepeninggal putranya, Penelope mendapati bahwa para pria yang bermaksud meminangnya berencana menghabisi nyawa pemuda itu dalam perjalanan pulang. Bertahun-tahun lamanya, pria-pria kejam itu telah berusaha menggulingkan Odiseus. Setiap hari mereka membuat Penelope tersiksa. Mereka menduduki rumahnya dan menuntutnya untuk memilih salah seorang dari mereka untuk dijadikan suami. Tapi Penelope tetap menjaga kesetiaannya pada Odiseus. Dengan menahan siksa dan malu, ia memberi janji kosong pada para peminang itu. Ia berjanji akan menikahi salah seorang dari mereka, namun kemudian ia menunda-nunda dengan cara menolak untuk memilih siapa yang akan dinikahi. Kini Penelope meneteskan air mata untuk Odiseus dan Telemakus. Saat mondar-mandir di dalam kamar, ia mendengar seseorang memanggilnya dari halaman bawah. Penelope bergegas menghampiri jendela dan melihat penggembala tua yang tinggal di peternakan babi di dekat pantai. Penggembala babi itu dikelilingi oleh para pelayan dan peminang Penelope. "Ratuku, jangan menangis lagi," seru penggembala babi itu pada Penelope. "Putra Anda selamat! Kemarin kapalnya merapat di pulau kita. Sekarang ia sedang beristirahat di gubukku." Saat mendengar kabar itu, Penelope dan pelayannya meneteskan air mata bahagia. Tapi para peminang sama sekali tidak gembira. Saat Penelope mendengar bahwa mereka membuat rencana lain untuk menghabisi nyawa putranya, ia langsung menghambur ke lantai bawah untuk menghadapi orang-orang jahat itu. Dengan marah, ia memanggil Antinous, pemimpin orang-orang jahat itu. "Antinous! Tidakkah kau ingat bagaimana suamiku pernah menyelamatkanmu dari amuk massa?" bentak Penelope. "Sekarang kau mencoba menggulingkan Odiseus dan membunuh anaknya! Berani sekali kau?" Sebelum Antinous sempat menjawab, salah seorang peminang berteriak dari kerumunan, "Jangan khawatir, Ratu Penelope! Tak ada alasan bagi anakmu untuk takut pada kami. Tapi tentu saja, seandainya para dewa memutuskan bahwa ajalnya sudah tiba, kami tidak bisa berbuat apa-apa." Penelope tidak berdaya menghadapi orang-orang kejam itu dan tak dapat berkata apa-apa. Ia kembali ke kamar dan menangis pilu sambil mengingat suami dan anaknya. Akhirnya Athena, sang dewi bermata kelabu, mengatup kelopak mata Penelope dan membuatnya terlelap. DUA KEMBALI KE ISTANA Dewi Athena juga selalu menjaga Odiseus dan Telemakus. Dua hari sebelumnya, Athena telah menolong Odiseus kembali ke lepas pantai Ithaca dan mengubah wujudnya menjadi seorang pengemis. Ketika Odiseus terseok-seok menghampiri gubuk milik sang penggembala babi yang setia, laki-laki tua itu tidak mengenalinya. Kemudian ketika Telemakus tiba di gubuk itu, ia pun tidak mengenali Odiseus. Namun, ketika sang ayah dan anak ditinggal berdua, Athena mengubah Odiseus ke wujud aslinya. Setelah pertemuan yang membahagiakan itu, Odiseus dan Telemakus membuat rencana untuk melawan para peminang yang jumlahnya lebih dari seratus orang. Sekarang, ayah dan anak itu berdiri berdekatan di dekat api unggun untuk meninjau kembali rencana mereka. "Kau pergi dulu ke istana," kata Odiseus. "Aku akan menyamar menjadi pengemis dan menyusulmu. Ingat, kau tak boleh menunjukkan tanda-tanda bahwa kau mengenaliku, bahkan ketika ada yang berusaha menyakitiku." "Dan Ayah akan memberitahuku bila tiba saatnya bagiku untuk menyembunyikan senjata?" tanya Telemakus. "Ya," kata Odiseus. Athena telah berjanji untuk membantu kita. Segera setelah dia muncul dan memberi tanda, kita akan angkut semua tombak serta tameng dari aula utama dan menyembunyikannya di gudang lantai atas." Diskusi mereka terputus oleh kedatangan si penggembala. Sihir Athena kembali mengubah wujud Odiseus menjadi pengemis lusuh. Ketika ketiga pria itu menyiapkan makan malam bersama, sang ayah dan anak menyimpan baik-baik rencana mereka dalam hati. Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, Telemakus meninggalkan gubuk si penggembala. Saat berlari menuruni jalan setapak yang berbatu menuju rumah, benaknya dipenuhi oleh pikiran tentang pertempuran yang akan menjelang. Ketika Telemakus tiba di rumah, pengasuhnya yang renta, Euriklea, menyambutnya dengan gembira. Para pelayan lain datang berkerumun dan memeluknya. Lalu datanglah sang ibu. Ia merengkuh putranya dan menangis. "Cahaya mataku!" tangis Penelope. "Ibu khawatir kita tidak akan pernah berjumpa lagi, Nak!" "Aku telah menempuh perjalanan jauh, Ibu, sampai ke Kerajaan Sparta," kata Telemakus. "Raja Menelaus dan Ratu Helen menyambutku dengan ramah di sana. Mereka bahkan menghujaniku dengan hadiah." "Dan kabar apa yang kau bawa tentang ayahmu?" tanya Penelope. Telemakus menatap ibunya dengan sedih. Ia ingat akan janjinya pada Odiseus untuk tidak mengatakan pada siapa pun tentang kepulangan sang ayah ke Ithaca. "Aku hanya tahu, Raja Menelaus berkata bahwa dahulu seorang pria tua dari lautan menyampaikan bahwa Odiseus ditawan di pulau Dewi Kalipso. Ia tidak bisa pergi karena tidak memiliki kapal yang bisa membawanya pulang." Saat Telemakus bercerita lebih lanjut tentang perjalanannya pada sang ibu, Odiseus semakin mendekati istana. Sambil menyamar dan ditemani si penggembala babi, ia terseok-seok di sepanjang jalan berbatu. Ketika mendekati pintu gerbang istana, Odiseus melihat seekor anjing tua kurus berbaring di atas timbunan sampah. Mata Odiseus menjadi basah karena ia mengenali anjing itu sebagai anjing pemburu kesayangannya, Argus. Ketika Argus melihat Odiseus, ia langsung mengenali tuannya. Anjing tua itu sangat lemah hingga tak kuat berdiri. Tapi ekornya bergoyang-goyang dengan gembira. Hati Odiseus perih karena ia tak mungkin mendekati Argus. Hal itu bisa membuka kedoknya. "Mengapa anjing pemburu itu terlantar dan tidak terurus?" tanyanya pada si penggembala. "Kelihatannya ia dulu binatang yang bagus." "Wah, dulu dia kesayangan tuannya," kata si penggembala. "Tapi sejak istananya porak-poranda, tak seorang pun peduli pada anjing itu lagi. Selama bertahun-tahun ia menunggu dengan setia untuk bisa memandang tuannya lagi. Ia tidak tahu bahwa Odiseus sudah lama meninggal." Ketika Odiseus mengikuti si penggembala melalui pintu gerbang, anjing tua itu menutup mata dan berpulang dengan tenang menuju kedamaian. Keinginan terbesarnya telah terwujud: tuannya sudah pulang. TIGA PENGEMIS DI MEJA Dengan bertumpu pada tongkat dan memakai jubah compang-camping, Odiseus berdiri di pintu masuk istana yang telah menjadi rumahnya dua puluh tahun yang lalu. Para peminang mulai memenuhi aula utama dengan kegembiraan yang meluap-luap. Tanpa diketahui oleh orang-orang biadab itu, Athena muncul di hadapan Odiseus dan membisiki telinganya. "Kitarilah ruangan itu dan mengemislah pada setiap orang," katanya. "Kau akan tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat." Odiseus menuruti nasihatnya dan berjalan terseok-seok dari satu pria ke pria lain sambil meminta makanan. Antinous, pemimpin para pelamar, langsung merasa tidak suka padanya. "Kau betul-betul makhluk yang menjijikkan!" hardiknya ketika Odiseus datang mendekat. "Berani sekali kau minta makanan pada kami?" Odiseus menatap mata Antinous. "Dan bagaimana denganmu, Tuan?" katanya. "Bukankah kau juga minta makan pada orang lain?" Antinous mengambil sebuah bangku dan melemparnya ke arah Odiseus. Bangku itu mengenai punggungnya, namun Odiseus menerima perlakuan itu tanpa banyak ribut dan segera menyingkir. Telemakus berjuang sekuat tenaga untuk tidak membela ayahnya. Ia sadar bahwa ia tidak boleh mengungkapkan siapa sesungguhnya pengemis itu. Tetapi ketika para pelayan memberi tahu Penelope tentang penyerangan terhadap si laki-laki renta yang lusuh, wanita itu langsung murka. "Semoga Dewa Apolo menghajar Antinous sampai mati!" katanya dengan kesal. "Semua pria yang ingin melamarku menjijikkan, tapi Antinous-lah yang paling buruk! Bawa laki-laki tua itu padaku. Barangkali ia pernah mendengar kabar tentang suamiku. Ia tampak seperti orang yang sudah pernah bepergian jauh dan melihat banyak hal." Pelayan itu bergegas menyampaikan pesan tersebut pada Odiseus. "Katakan pada ratumu bahwa aku akan datang menghadap setelah malam tiba," kata Odiseus, "dan aku akan membawa berita tentang suaminya." Sementara Odiseus menunggu siang berganti malam, para peminang memenuhi halaman sambil bernyanyi lantang dan menari. Mereka saling bertengkar dan berkelahi. Mereka mencaci-maki dan mengancam Odiseus. Akhirnya, Telemakus tidak tahan lagi. "Apa kalian sudah gila?" teriaknya. "Apa kalian sudah kerasukan roh jahat? Tinggalkan istana ini sekarang juga!" Para peminang terpesona oleh keberanian pemuda itu. Meski dengan menggerutu, mereka mematuhi perintah Telemakus dan beranjak pergi. Ketika semua peminang telah meninggalkan istana, Dewi Athena memberi tanda pada Odi-seus. Odiseus segera menghampiri Telemakus. "Sekarang kita harus bersiap-siap untuk pertempuran besok," katanya. "Kita akan memindahkan semua perisai dan tombak dari aula utama di lantai bawah. Kalau ada yang bertanya padamu mengapa kita melakukan itu, katakan saja bahwa kau ingin melindungi benda-benda itu dari panas dan asap yang berasal dari perapian di dalam rumah. Sambil memegang lampu emas, Athena, yang kini tak terlihat, membimbing Odiseus dan Telemakus melalui aula lantai bawah. Cahaya lembut dari lampu itu menyinari dinding-dinding dan penyangga atap. Dengan pertolongan lampu Athena, ayah dan anak itu memindahkan topi baja, perisai serta tombak dari dinding dan mengangkutnya ke gudang di lantai atas. Lalu Odiseus mengucapkan selamat malam pada Telemakus. "Tidurlah, anakku," ujarnya penuh kelembutan. "Beristirahatlah untuk pertarungan kita besok. Sekarang aku harus pergi untuk bicara pada ibumu." EMPAT MALAM SEBELUM PERTEMPURAN Gelap malam telah menyelimuti bumi dan seluruh istana menjadi sunyi. Ratu Penelope duduk di kursi gading-peraknya di samping perapian di aula utama. Kecantikannya bersinar keemasan laksana Dewi Afrodite. "Tolong ambilkan kursi supaya tamuku merasa nyaman," perintahnya pada para dayang-dayang. Sebuah kursi diletakkan dan diselimuti oleh kulit kambing yang lembut. Lalu seorang pelayan mempersilakan Odiseus untuk menghadap sang ratu. "Selamat datang, kawan," kata Penelope. "Sekarang tolong katakan padaku siapa dirimu? Dari mana kau berasal? Di mana keluargamu?" Dengan wajah yang tersembunyi di balik jubah yang compang-camping, Odiseus berbicara dengan suara rendah: "Wahai permaisuri Odiseus yang mulia, ku mohon jangan kau tanyakan tentang kampung halaman atau keluargaku. Jangan paksa aku untuk mengingat rasa sakit dan duka." "Aku mengerti," kata Penelope. "Aku sendiri mulai berduka dua puluh tahun yang lalu ketika suamiku pergi untuk ikut Perang Troya. Sudah bertahun-tahun para lelaki datang silih berganti untuk melamarku. Mereka menduduki rumah kami. Mereka meyakinkanku bahwa Odiseus sudah mati dan mendesakku untuk memilih salah seorang dari mereka untuk dinikahi. "Beberapa waktu lamanya aku berusaha mengecoh mereka. Aku katakan bahwa aku akan menikah lagi bila aku telah selesai menenun kain kafan untuk ayah Odiseus. Setiap hari aku menenun kain itu. Tapi malamnya aku bongkar kembali benang-benang yang sudah ku tenun pada siang hari. Dengan begitu, pekerjaan itu tidak pernah selesai. "Setelah tiga tahun berlalu dengan akal bulus itu, seorang pelayan mengetahui apa yang sesungguhnya kulakukan dan menceritakan tipu muslihat tersebut pada para peminang. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan te-nunanku. Sekarang mereka menuntutku untuk menepati janjiku dan segera memilih salah seorang dari mereka sebagai suami. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Tahun-tahun yang ku lewati dalam duka dan kekhawatiran membuatku hilang daya untuk melawan orang-orang itu." Penelope menghela napas dalam-dalam. "Nah," lanjutnya, "Aku sudah menceritakan tentang keluargaku, duka-cita dan siksa yang ku jalani. Sekarang giliranmu bercerita. Dari mana asalmu? Aku tahu kau tidak lahir dari batu maupun pohon." Odiseus tidak berkedip sedikitpun ketika ia mulai mereka-reka kisah untuk diceritakan pada istrinya. "Aku dulu tinggal di Pulau Kreta," katanya. "Kakekku adalah Raja Minos. Aku ingat ketika suamimu Odiseus menghadapi rintangan dan menyimpang dari jalur menuju Troya. Ia kemudian tiba di pulau kami. Aku menghiburnya di istanaku. Ia dan pasukannya tinggal di tempat kami selama dua belas hari. Lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan." Penelope tak kuasa menahan tangis saat mendengarkan cerita teramat sederhana tentang suaminya yang hilang. Bagaikan salju yang mencair tertiup angin timur dan meluncur menuruni lembah, air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang indah. Odiseus ingin sekali memeluknya, namun ia menahan diri sekuat tenaga dan tetap diam. Setelah sudah puas menangis, Penelope kembali memandang Odiseus. "Wahai orang asing, bagaimana aku bisa tahu bahwa kau berkata yang sesungguhnya? Kalau kau memang pernah melihat suamiku, katakan padaku, bagaimana rupanya? Bagaimana pakaiannya?" "Dua puluh tahun telah berlalu. Ingatanku tentang Odiseus hanya samar-samar," ujar Odiseus. "Tapi akan ku katakan padamu apa yang ku ingat. Waktu itu ia mengenakan jubah ungu tebal dengan sebuah bros emas. Pada bros itu ada ukiran seekor anjing pemburu dan rusa muda." Kata-kata Odiseus membuat Penelope menangis lagi, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. "Akulah yang memasang bros emas itu pada jubahnya sebelum ia pergi berlayar ke medan perang," katanya di sela-sela isak tangis. Odiseus tidak kuat lagi melihat Penelope menangis. „ "Jangan menangis lagi, Ratuku," katanya. "Baru-baru ini, aku mendengar bahwa Odiseus masih hidup, meskipun semua anak buahnya tewas. Dia akan segera kembali pulang dengan membawa oleh-oleh yang bagus. Aku percaya ia akan datang bulan ini juga, sebelum rembulan berganti bulan baru." "Aku berharap semoga ucapanmu benar," kata Penelope. "Jika semua kata-katamu benar, kami akan sangat menghargaimu." Kemudian, sang ratu memanggil para pelayan dan memerintahkan mereka untuk menyiapkan tempat tidur yang nyaman bagi orang asing itu. "Aku tidak perlu tempat tidur yang empuk," Odiseus berkata. "sudah lama aku tidur di atas tanah yang keras." "Kalau begitu, paling tidak izinkanlah pelayanku Euriklea memandikanmu," kata Penelope. "Dulu ia yang merawat Odiseus sejak suamiku dilahirkan hingga tiba saatnya berlayar ke medan laga." Odiseus tersenyum dan menyetujui usul itu. Ia duduk dalam keheningan di samping perapian ketika Penelope mohon diri dan pengasuh tua itu mengisi bak air. Ketika Euriklea mulai memandikannya, Odiseus teringat pada bekas luka di atas lututnya. Parut itu disebabkan oleh luka tusukan taring babi hutan sewaktu Odiseus masih muda. Sebelum dia sempat menyembunyikan kakinya, Euriklea melihat bekas luka yang panjang dan putih itu. Perempuan itu perlahan-lahan meraba bekas luka tersebut dan kemudian memandang Odiseus. Air mata menggenangi matanya. "Oh!" bisiknya. "Kau Odiseus!" Odiseus meraih Euriklea dan menariknya lebih dekat. "Pengasuhku, berjanjilah kau tidak akan mengatakan pada seorang pun siapa sesungguhnya aku," ia berbisik dengan tegas, "sampai para dewa mengantarkan para peminang yang jahat itu ke dalam genggamanku." "Aku berjanji," Euriklea berbisik. "Aku akan diam seribu bahasa." Setelah Odiseus selesai mandi, Penelope menghampirinya lagi. "Aku khawatir saat suram telah tiba," katanya. "Bila tidak ingin anakku disakiti, akhirnya aku harus rela menikahi salah seorang pengacau itu. Aku sudah mengambil keputusan. Dulu, suamiku Odiseus bisa menembakkan anak panah dengan sekali bidik melalui gelang-gelang di ujung dua belas pegangan kapak. Barangsiapa di antara para peminang dapat memasang tali pada busur panah hebat milik Odiseus dan membidikkan anak panah dengan kelihaian yang sama, maka dia akan ku nikahi." Odiseus mengangguk perlahan. "Aku rasa ini rencana yang bagus." katanya. "Selenggarakanlah pertandingan itu besok." Penelope tersenyum. "Senang sekali bisa bicara denganmu, kawanku, tapi aku harus tidur sekarang. Tak seorang manusia yang mampu bertahan tanpa tidur." Pandangan mata Odiseus mengikuti Penelope menaiki tangga menuju ke kamarnya. Lalu ia membentangkan selembar kulit sapi di lantai dan berbaring di atasnya. Namun, ternyata tidak mudah baginya untuk terlelap. Odiseus membolakbalikkan badan dengan gelisah. Ia khawatir tentang pertempuran yang akan segera dihadapi. Aku pernah merasakan penderitaan yang lebih hebat dari ini, pikirnya. Aku menyaksikan anak buahku dibunuh dengan kejam oleh monster Cyclops, dan aku masih bertahan. Aku menempuh perjalanan ke Negeri Orang Mati. Aku berhasil bertahan menghadapi badai, kapal karam, dan meloloskan diri dari para raksasa kanibal.... Namun, bagaimanapun keras usahanya untuk meyakinkan diri, Odiseus tetap tidak bisa beristirahat. "Odiseus." Odiseus membuka mata. Dewi Athena berdiri di hadapannya. "Mengapa kau tidak bisa tidur?" katanya. "Istrimu ada di sini. Anakmu juga. Kau akhirnya berada di rumah." "Yang kau katakan memang benar, Dewi," kata Odiseus. "Meski demikian, aku tidak yakin akan berhasil mengenyahkan para peminang itu dari rumahku. Mereka selalu bersama-sama dalam gerombolan. Meskipun semuanya sudah ku bunuh, yang lain pasti akan datang untuk menuntut balas." "Dasar manusia tidak beriman!" kata sang dewi bermata kelabu itu. "Pernahkah aku gagal menjagamu? Bukankah kita sudah menaklukkan sepasukan tentara bersama-sama? Tidurlah sekarang. Aku berjanji bahwa dengan pertolonganku, kau akan bisa menaklukkan semua musuhmu." LIMA TANDA-TANDA DARI PARA DEWA Odiseus terjaga ketika fajar menjelang. Saat mendengar suara tangis dari kamar Penelope, ia merasa khawatir. Ia mengangkat kedua tangan dan berdoa pada dewa yang paling sakti di antara para dewa. "Wahai Dewa Zeus," bisiknya, "bila telah menjadi kehendakmu bahwa aku akan memenangkan pertempuran hari ini, aku mohon tunjukkanlah tanda." Sesaat kemudian, guntur menggelegar di langit yang biru dan jernih. Seorang pelayan kebetulan sedang menggiling jagung di dekat tempat itu. "Guntur!" dia berseru. "Padahal tak ada segumpal awan yang tampak! Dewa Zeus pasti sedang menunjukkan tanda-tanda. Semoga hari ini menjadi hari terakhirku melayani orang-orang jahat itu!" Hati Odiseus lega mendengar kata-kata pelayan itu. Ia merasa senang karena mendapat tanda dari sang dewa penguasa langit. Ketika sinar matahari pagi memancarkan cahaya kemerahan ke seluruh penjuru istana, Telemakus bangkit dari peraduannya dan berpakaian untuk menyongsong pertempuran yang segera menjelang. Ia menyandang pedang di bahu dan mengikat kedua sandalnya. Setelah mengambil tombak berujung perunggu yang melengkung, ia meninggalkan kamarnya. Di halaman, para peminang sudah kembali berkerumun untuk merundingkan cara menghabisi nyawa sang pangeran muda. Namun, ketika mereka sedang mengatur rencana, sebuah pemandangan aneh tampak di langit. Seekor elang melayang-layang di atas kepala sambil mencengkeram seekor merpati. "Lihat!" kata salah seorang peminang. "Itu pertanda buruk bagi kita! Aku khawatir ini artinya rencana kita akan jadi berantakan!" Para peminang yang lain mengangkat bahu dan berbondong-bondong masuk ke aula utama untuk menikmati sarapan lezat. Ketika mereka sedang mengedarkan mangkuk-mangkuk anggur, Telemakus masuk ke tempat itu bersama Odiseus. Masih dalam penyamarannya sebagai pengemis, Odiseus duduk di sebuah kursi di dekat meja. Telemakus menuangkan anggur ke dalam mangkuk dan memberikannya pada pria lusuh itu. Salah seorang peminang terbahak-bahak dan berdiri. "Biar ku tambah isi mangkuk pengemis ini!" katanya. Lalu dilemparkannya sepotong kaki sapi ke arah Odiseus. Odiseus mengelak, lalu tersenyum geram pada penyerangnya. Tapi Telemakus menatap peminang yang tidak tahu aturan itu dengan kemarahan yang memuncak. "Kau boleh makan dari meja kami dan minum dari tong-tong anggur kami!" hardiknya. "Tapi kau tidak boleh menyiksa orang asing di rumah yang terhormat ini!" Para peminang meledak dalam tawa yang membahana. Lalu angin yang aneh, yang membawa mantera Dewi Athena, bertiup ke seluruh ruangan. Para peminang tidak bisa berhenti tertawa. Saat mereka melolong-lolong tidak terkendali, darah mereka menciprati makanan. Ketika akhirnya berhasil mengendalikan diri, salah seorang dari mereka melompat berdiri. "Wahai orang-orang sesat! Aku baru saja mendapat penglihatan mengerikan yang dikirim oleh para dewa! Aku melihat apa yang akan terjadi di sini hari ini! Aku melihat dinding-dinding di ruangan ini bermandikan darah! Dan aku melihat meja serta ruangan ini dipenuhi arwah-arwah yang bergegas menuju kegelapan Negeri Orang Mati.... " ENAM MEMASANG TALI BUSUR Setelah sarapan, Penelope pergi ke gudang istana dan mengambil busur besar yang dulu merupakan milik Odiseus. Ia membawa busur itu ke aula utama dan meletakkannya di hadapan para peminang. "Dengarkan aku," katanya pada mereka. "Sudah lama kalian menduduki rumah ini. Kalian telah minum anggur suamiku dan menyembelih ternaknya. Kalian mengatakan bahwa itu adalah cara kalian menunggu keputusanku untuk memilih siapa di antara kalian yang akan menjadi suamiku. Baiklah, ini tantangannya. Barang siapa mampu memasang tali pada busur milik Odiseus dan menembakkan sebuah anak panah dalam sekali bidik melalui gelang-gelang dari dua belas pegangan kapak berturut-turut, maka dia akan menjadi suamiku." Para peminang menerima tantangan itu dengan penuh semangat. Satu per satu, mereka mencoba memasang tali pada busur Odiseus yang kuat itu. Namun, meski mereka telah meminyakinya dengan lemak panas dan menghangatkannya di dekat perapian, busur yang kuat itu tetap tidak mau melengkung. Sementara setiap peminang bergiliran memegang busur itu, penggembala babi dan penggembala sapi yang senantiasa mengurus ternak Odiseus beranjak pergi dari ruang pesta. Mereka muak menyaksikan musuh-musuh mereka menyentuh busur tuannya. Odiseus melihat kepergian mereka dan bergegas menyusul. "Tunggu!" panggilnya. "Aku punya pertanyaan untuk kalian berdua. Jika Odiseus tiba-tiba jatuh dari langit dan muncul di hadapan kalian hari ini, bersediakah kalian bertempur mati-matian untuk membelanya? Atau kalian akan membela para peminang?" "Oh, seandainya saja Dewa Zeus mendengar doaku dan membawa majikanku pulang," kata si penggembala sapi, "kau akan segera melihat betapa kuatnya aku saat bertempur untuknya." Si penggembala babi mengangguk dan memanjatkan doa tulus untuk kepulangan Odiseus. Odiseus sepenuhnya yakin bahwa ia bisa memercayai kedua pelayannya yang renta itu. "Kalau begitu kalian harus tahu bahwa doa kalian telah terkabul," katanya. "Akulah Odiseus. Dan bila kita berhasil mengalahkan para peminang itu, kalian akan sangat ku hargai." Kedua laki-laki tua itu tak mampu berkata-kata. Mereka tidak bisa percaya bahwa pengemis lusuh yang berdiri di hadapan mereka itu benar- benar tuan mereka, Odiseus. Odiseus menyibak jubah compang-campingnya dan memperlihatkan bekas luka panjang putih di atas lututnya. "Ingatkah kalian pada luka yang disebabkan oleh taring babi hutan waktu aku masih muda dulu?" dia bertanya. Penggembala babi dan penggembala sapi itu menjatuhkan diri dan menangis di hadapan tuan mereka yang telah lama menghilang. Odiseus memeluk mereka. "Tahan dulu air mata kalian karena seseorang mungkin akan melihat dan menyebarluaskan hal ini," katanya. "Dengar baik-baik perintahku ini. Kalau nanti aku kembali ke dalam, berikan busur itu padaku, supaya aku juga mendapat giliran dalam pertandingan. Sesudah busur itu sampai di tanganku, pastikan semua wanita terkunci di kamar dan pasang palang pada gerbang halaman." Ketika Odiseus dan kedua pelayannya yang setia kembali ke aula utama, mereka mendapati bahwa tak seorang pun di antara para peminang berhasil memasang tali pada busur itu. "Mengapa tidak kalian lanjutkan pertandingan ini besok?" tanya Odiseus. "Barangkali Dewa Pemanah akan bersedia membantu salah seorang dari kalian nanti. Sambil menunggu, izinkan aku memegang busur mulus itu. Aku ingin tahu apakah tanganku masih memiliki tenaga, atau perjalanan yang melelahkan telah menguras habis seluruh tenagaku." Pria-pria itu menjadi marah. "Dasar bodoh. Jangan coba-coba menyentuh busur itu," kata Antinous. "Jaga mulutmu atau kami akan melemparmu ke laut." Penelope berdiri. "Tamu kita mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga terhormat," ujarnya. "Berikan busur itu padanya dan biarkan ia mencoba memasang talinya." "Ibu, masuklah ke kamar dan kembalilah menenun," kata Telemakus karena ia tahu bahwa pertarungan berdarah akan segera dimulai. "Akulah kepala keluarga di rumah ini. Biarkan aku yang mengundang tamu kita untuk memasang tali busur.", Penelope terkejut mendengar perintah tegas putranya, tapi kemudian ia menundukkan kepala dan masuk ke dalam kamarnya. Ketika ia berbaring dan mencucurkan air mata untuk Odiseus, Dewi Athena mengatup kedua kelopak matanya serta membuatnya tertidur pulas. Sang dewi ingin menjauhkan Penelope dari kengerian yang akan segera terjadi. Di aula utama di lantai bawah, kedua penggembala mengambil busur yang kuat itu beserta sekantung anak panah dan memberikannya kepada Odiseus. Lalu mereka bergegas meninggalkan ruangan dan memerintahkan para pelayan untuk mengunci pintu gerbang. Odiseus memeriksa busur itu dengan hati- hati. Lalu dengan mudah ia membengkokkan busur itu dan memasang talinya, sebagaimana seorang musisi memasang senar harpa. Ketika selesai, ia menarik tali yang terentang kencang itu. Tali tersebut mengeluarkan nada seperti nyanyian burung walet. Guntur bergemuruh di angkasa. Odiseus tersenyum karena dia tahu bahwa gemuruh itu adalah tanda lain dari Dewa Zeus. Saat para peminang menyaksikan dengan takjub, Odiseus mengambil sebatang anak panah dan memasangnya pada busur. Ia membidikkannya ke arah deretan kapak, menarik anak panah itu, dan membiarkannya lepas melesat. Anak panah tersebut meluncur dengan tepat melalui kedua belas gelang kapak. Odiseus meletakkan busurnya dan memandang Telemakus. "Orang asing yang kau terima di rumahmu ternyata tidak mempermalukanmu," katanya. Telemakus mengangguk. Perang akan segera dimulai. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net TUJUH KEMATIAN PARA PEMINANG Odiseus segera melepas baju lusuhnya dan melompat ke atas ambang pintu aula yang terbuat dari batu. Ia menatap para peminang. "Pertandingan sudah berakhir," katanya. "Tapi sekarang ada sasaran baru untuk panahku. Bantulah aku, wahai Apolo, Dewa Pemanah-" Sambil berkata demikian, Odiseus mengarahkan bidikannya pada Antinous, pemimpin para peminang, dan menembakkan sebatang anak panah yang langsung menembus tenggorokan penjahat itu. Begitu Antinous jatuh terempas ke lantai, para peminang lain melompat dari kursi mereka. "Kau akan mendapatkan ganjaran atas perbuatanmu ini!" teriak salah seorang peminang. "Burung-burung pemakan bangkai akan segera menyantapmu!" Lalu mereka berlari tergopoh-gopoh dalam kebingungan sambil mencari senjata mereka. Tapi tak satu pun tombak maupun tameng berhasil mereka temukan. "Hai anjing-anjing!" Odiseus meneriaki mereka. "Aku-Odiseus-telah kembali! Kalian tidak pernah menyangka akan melihatku lagi, bukan? Sekarang akhir hayat kalian telah tiba!" "Gunakan meja-meja sebagai tameng untuk menahan anak-anak panahnya!" jerit salah seorang peminang. "Serang dia dengan pedang kalian!" Pria itu menghambur ke arah Odiseus dengan pedang terhunus tapi Odiseus serta-merta menyambutnya dengan anak panah dari busurnya. Seorang peminang lain berlari menghampiri Odiseus, tapi Telemakus melemparkan tombaknya dan membunuhnya. Kemudian, Telemakus bergegas meninggalkan ruangan dan mengambil senjata untuk si penggembala babi dan penggembala sapi. Odiseus menahan para peminang dengan anak panahnya sampai Telemakus kembali dengan perisai dan tombak yang kemudian dibagikan pada kedua sekutu mereka. Lalu keempat pria itu berdiri bersama-sama menghadapi kerumunan itu. Salah seorang musuh Odiseus lari ke lantai atas menuju gudang dan mendapati pintunya tak terkunci. Kemudian, ia mengambil dua belas tombak dan membagikannya pada yang lain. Dengan musuh yang sekarang bersenjata, kelihatannya tidak masuk akal bagi Odiseus dan ketiga sekutunya untuk melumpuhkan pria sebanyak itu. Tetapi tiba-tiba Dewi Athena muncul. "Bergabunglah dengan kami dalam pertempuran ini!" seru Odiseus pada sang dewi. Mata Athena berkilat-kilat. "Kau harus berusaha sendiri dulu semampumu!" ujarnya. Lalu ia berubah menjadi seekor burung walet dan terbang ke arah penyangga atap untuk menonton. Odiseus menembakkan anak panah satu demi satu dan membunuh sejumlah peminang. Lalu ia bersama ketiga sekutunya melemparkan keempat tombak mereka ke arah musuh. Setelah empat orang peminang tewas, Odiseus dan pasukannya mencabuti tombak-tombak dari tubuh-tubuh yang terkapar itu dan melemparkannya lagi ke sasaran lain. Para peminang pun melemparkan tombak mereka. Namun, Dewi Athena selalu meluputkan bidikan mereka. Akhirnya, sang dewi mengirim penampakan mengerikan bagi para pelamar. Awan hitam muncul di atas aula utama. Awan itu berbentuk seperti tameng sakti Athena. Para peminang tahu bahwa penampakan tameng Athena merupakan tanda kematian yang pasti. Tanpa ampun, Odiseus, Telemakus, dan kedua sekutunya menghabisi musuh satu demi satu. Odiseus membiarkan seorang pemusik keliling tetap hidup karena ia dapat menyanyikan lagu-lagu yang dikirim oleh para dewa. Ia juga membiarkan seorang pembawa pesan tetap hidup karena ia ingin orang itu menyebarkan pesan bahwa umat manusia di dunia seharusnya berbuat baik dan tidak berlaku keji. Tapi kepada para peminang yang lain, Odiseus tidak memberi ampun. Di akhir pertempuran, semua peminang terbunuh. Mayat mereka bergelimpangan, bertumpuk-tumpuk di lantai seperti ikan mati yang ditumpahkan dari dalam jala ke atas pasir. Kemudian, Dewa Hermes menampakkan diri di aula utama. Dengan tongkat emas di tangan, ia menggiring arwah para peminang meninggalkan istana. Sambil mencicit laksana kelelawar, para arwah mengikuti Hermes melintasi ombak di lautan. Mereka mengikutinya melalui bebatuan bersalju. Mereka mengikutinya melewati gerbang matahari dan negeri impian, hingga akhirnya tiba di Negeri Orang Mati yang berkabut. DELAPAN REUNI Sambil berdiri di antara genangan darah dan mayat para peminang, Odiseus memanggil Euriklea. Ketika menyaksikan pembantaian itu, dia menjerit penuh kegembiraan dan kelegaan, karena ia tahu bahwa istana itu akhirnya terbebas dari para penjahat yang telah menyiksa keluarga Odiseus selama bertahun-tahun. "Jangan ribut," perintah Odiseus. "Tak baik bergembira atas kematian orang lain." "Paling tidak biarkan aku menceritakan hal ini pada Penelope," kata sang pelayan. "Dia tertidur selama pertempuran berlangsung." "Tidak, jangan bangunkan dia sekarang," kata Odiseus. "Kumpulkan semua dayang-dayang yang pernah menari bersama para peminang. Perintahkan mereka untuk mengangkut mayat-mayat ini dan membersihkan lantai maupun dinding dari genangan serta noda darah." Euriklea melakukan apa yang diperintahkan Odiseus. Setelah istana kembali bersih seperti sediakala, Odiseus menyuruhnya menyucikan rumah itu dengan api. Akhirnya, setelah api mengepulkan asap ke seluruh aula serta halaman, Euriklea bergegas ke lantai atas dan menghampiri Penelope. "Bangunlah!" serunya sambil mengguncang tubuh sang ratu yang terlelap. "Suamimu yang tercinta sudah kembali! Dia sedang menunggumu sekarang! Bangunlah!" Ketika Penelope membuka kedua matanya, Euriklea menceritakan tentang pertempuran hebat itu dan bagaimana ia mendapati Odiseus serta Telemakus berdiri di atas tumpukan mayat para peminang. "Jangan beri aku harapan kosong tentang Odiseus," kata Penelope. "Aku yakin itu hanya salah seorang dewa yang sedang menyamar. Suamiku yang tercinta sedang berada di pulau yang jauh, atau barangkali sudah mati." "Pergi dan lihatlah sendiri!" desak Euriklea. "Aku melihat bekas luka di kakinya, yang disebabkan oleh babi hutan. Ikutlah denganku sekarang juga! Dia sedang menunggumu di sisi perapian!" "Wahai pelayan tua, kau sungguh tidak mengerti jalan pikiran para dewa ... atau bagaimana mereka bisa dengan mudah mempermainkan kita," kata Penelope. "Tapi aku ingin melihat keadaan anakku." Penelope turun ke lantai bawah. Ia mendapati Odiseus sedang duduk di sisi perapian. Jubah rombengnya berlumuran darah. Keringat dan darah membasahi wajah serta rambutnya yang kotor. Karena terkejut oleh penampilan Odiseus yang mengerikan itu, Penelope berpaling. Telemakus menegurnya. "Ibu, tidak dapatkah kau pandang wajahnya? Apakah hatimu sudah begitu beku?" Tapi Odiseus tetap sabar. Ia tersenyum dan berpaling pada Telemakus. "Mari kita mandi dulu dan mengenakan tunik yang bersih," usulnya. "Lalu perintahkan si pemusik untuk memainkan lagu dansa yang riang sebagaimana ia memainkan sebuah kidung pernikahan. Kita harus mengelabui para tetangga untuk menunda tibanya berita tentang pembantaian ini ke telinga keluarga para pelamar yang sudah tewas. Bila mereka mendengar tentang hal ini, tentu mereka akan menuntut balas." Odiseus meninggalkan aula utama. Para pelayan memandikan dan menggosok tubuhnya dengan minyak dan memakaikan tunik bersih. Lalu Dewi Athena secara ajaib mengubah wujud pengemisnya menjadi sosok yang lebih muda dan tinggi. Dengan ketampanan bagaikan dewa, ia kembali ke dekat perapian. Ia duduk di hadapan Penelope. Namun, wanita itu tetap membisu. Perubahan rupa Odiseus justru membuat perempuan itu semakin tidak percaya. Benarkah ia manusia? Ataukah ia seorang dewa yang sedang berusaha memperdayainya? "Kau betul-betul perempuan aneh," kata Odiseus. "Sesudah dua puluh tahun, kau bahkan tak mengizinkan suamimu memelukmu." Ketika Penelope masih tetap membisu, Odiseus melanjutkan bicaranya. "Baiklah, kalau begitu ku rasa aku harus tidur sendiri." "Kau betul-betul pria aneh," kata Penelope, "itu jika kau memang benar-benar seorang manusia dan bukan seorang dewa yang sedang mempermainkanku." Lalu Penelope mendapat akal. Dahulu, Odiseus pernah membuatkannya ranjang pengantin dari sebatang pohon zaitun yang tumbuh menembus lantai di kamar tidur mereka. Hanya ia dan Odiseus yang tahu rahasia konstruksi tempat tidur itu. "Aku tidak tahu siapa kau sesungguhnya," kata Penelope, "tapi akan ku suruh pelayanku menyiapkan tempat tidurku untukmu. Euriklea!" panggilnya, "suruh para pelayan memindahkan tempat tidurku ke luar dan mengalasinya dengan bulu domba dan seperai linen." Mata Odiseus bersinar penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan pada ranjang pengantin yang ku buatkan untukmu dulu?" hardiknya. "Tempat tidur itu tidak akan pernah bisa dipindahkan, salah satu kakinya adalah batang pohon zaitun yang berakar di tanah! Apakah seorang pencuri telah memotong kaki itu dan mencuri ranjang kita?" Penelope menjerit kegirangan dan menghambur ke pelukan Odiseus. "Hanya kau yang tahu rahasia ranjang pengantin kita!" serunya dengan berurai air mata. "Maafkan aku karena telah meragukanmu!" Ketika kedua lengan Penelope merengkuhnya dengan lembut, sebuah rasa sakit muncul di dada Odiseus, rasa sakit seorang perenang yang sedang mengarungi lautan penuh badai, yang telah sekian lama merindukan daratan dengan kehangatan matahari. Sambil mendekap sang istri di depan perapian yang menyala, tangis Odiseus pecah dalam kesedihan yang manis. Saat melihat kedua orangtuanya berpelukan, Telemakus menyuruh para penari dan pelayan menyingkir. Aula utama menjadi gelap dan semua orang pergi tidur. Odiseus dan Penelope masuk ke kamar mereka dan merebahkan diri di ranjang yang berkaki pohon zaitun. Malam itu mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk saling bertukar cerita mengenai apa saja yang mereka alami ketika Odiseus tidak ada. Sementara mereka berbincang-bincang, Athena menahan tali kekang kuda-kuda sang fajar, Cahaya Api dan Cahaya Hari. SEMBILAN KEDAMAIAN Ketika fajar akhirnya datang, Odiseus mengatakan pada Penelope bahwa ia harus pergi ke desa untuk menjenguk ayahnya, Laertes. Duka cita yang mendalam telah membuat Laertes berkabung untuk putranya selama dua puluh tahun. Laki-laki tua itu bahkan menolak untuk tinggal di istana dan memilih untuk tidur beralaskan sepotong kain lusuh di kebun anggur Odiseus. "Selama kepergianku, kuncilah dirimu bersama para pelayan di dalam kamar. Jangan sesekali kau berbicara pada siapa pun," Odiseus memperingatkan Penelope. "Aku harus mengingatkanmu, menjelang sore, berita tentang tewasnya para peminang sudah akan tersebar, dan keluarga para peminang akan datang untuk menuntut balas." Kemudian, Odiseus membangunkan Telemakus, si penggembala babi, dan si penggembala sapi. Ia memerintahkan mereka untuk menyertainya menjenguk sang ayah. Meski hari sudah terang saat mereka berangkat, Athena menyelimuti keempat pria itu dengan kegelapan sampai mereka tiba di kebun anggur Laertes yang jauh dari kota. "Masuklah ke rumah dan siapkan hidangan untuk kita semua," perintah Odiseus pada yang lain. "Aku akan pergi ke kebun untuk mencari ayahku." Di sebidang tanah di perkebunan anggur itu, Odiseus melihat seorang laki-laki tua sedang menggali tanah. Pria yang sedang membungkuk di atas sekop itu mengenakan tunik kotor dan topi kulit kambing yang sudah lusuh serta robek. Hati Odiseus perih bagai tertusuk sembilu saat melihat keadaan ayahnya yang letih dan lusuh. "Maaf kalau aku mengganggumu," Odiseus memulai percakapan. "Aku sedang mencari seorang teman. Dia pernah singgah di pulauku dan menginap di rumahku. Dia bilang dia berasal dari Ithaca dan ayahnya bernama Laertes." Laki-laki tua itu menundukkan kepalanya dan mulai menangis. "Itu pasti anakku, putraku yang malang, Odiseus," katanya. "Ia telah lama mati. Dalam pengembaraannya, ia mungkin telah dimakan oleh ikan-ikan di laut, atau mungkin oleh binatang-binatang buas di darat." "Benarkah?" tanya Odiseus. "Rasanya belum lama ini aku melihatnya. Aku memberinya banyak hadiah dan menyuruhnya melanjutkan perjalanan. Aku mendapat pertanda yang baik tentang dirinya. Kami bahkan berharap untuk bisa berjumpa lagi." Laertes menganggukkan kepala dan air mata menggenangi kedua matanya. Lalu tiba-tiba beban duka yang dipikulnya terasa sangat berat. Sambil mengerang dengan hati yang hancur, ia mengambil segenggam tanah dan menumpahkannya di atas kepala. Odiseus tidak sanggup lebih lama lagi menyaksikan penderitaan ayahnya. Ia menghambur dan membentangkan kedua lengannya untuk memeluk lelaki tua yang sedang berduka itu. "Ayah, akulah anakmu," katanya. "Aku sudah pulang. Sudah ku musnahkan mereka yang telah menyiksamu, istri, dan anakku." Laertes berbicara dengan gagap karena tidak percaya pada apa yang didengarnya. "Bisakah, bisakah kau menunjukkan bukti padaku bahwa kau benar-benar anakku?" ia bertanya. "Aku bisa menunjukkan luka waktu kita berburu dulu," kata Odiseus seraya menunjukkan parut di atas lututnya. "Dan aku bisa menceritakan padamu tentang pohon-pohon di hutanmu. Ketika aku masih kecil, kau memberiku tiga belas pohon pir, sepuluh pohon apel, dan empat puluh pohon ara." Saat mendengar hal itu, Laertes pingsan dan jatuh terkulai. Odiseus mendekapnya erat-erat ke dada, sampai sang ayah kembali membuka kedua matanya. Senyum bahagia menghiasi wajah tua itu, yang kemudian berganti dengan rasa takut. "Aku khawatir keluarga-keluarga para peminang yang terbunuh itu akan datang untuk menuntut balas," kata Laertes. "Jangan khawatirkan mereka sekarang," kata Odiseus. "Ayo, mari kita masuk ke dalam rumah dan menikmati hidangan bersama cucumu, Telemakus." Odiseus menuntun ayahnya menuju ke rumah, di mana aneka hidangan lezat telah menanti mereka. Lelaki tua itu mandi dan mengganti pakaiannya dengan jubah yang indah. Dewi Athena memberinya tenaga, meremajakan tubuhnya yang lemah, dan mengubah sosoknya menjadi lebih tinggi dan lebih kuat. Sebuah teriakan keras dari luar memecah keriaan mereka. Segerombolan orang bersenjata telah datang untuk menuntut balas atas kematian para peminang. Odiseus, ayahnya, dan Telemakus serta-merta mengenakan pakaian baja dan pergi ke luar. Laertes melempar tombaknya dan membunuh salah seorang dari mereka. Odiseus dan Telemakus menghunus pedang mereka ke atas dan bersiaga menghadapi musuh. Saat itu juga, Athena menampakkan diri. "Jangan bergerak!" serunya. "Berhentilah sebelum lebih banyak darah tertumpah lagi!" Musuh-musuh Odiseus pucat pasi saat melihat dewi yang agung itu. Setelah menjatuhkan senjata, mereka lari terbirit-birit. Odiseus memekikkan jeritan perang yang mengerikan. Ia melesat mengejar musuh-musuhnya bagaikan seekor elang. Tapi Dewa Zeus yang sakti melontarkan kilat dan guntur ke bumi. Melihat hal ini, Athena memerintahkan Odiseus untuk menahan diri. "Hentikan pertempuran, Odiseus, sebelum kau membuat murka para dewa!" jeritnya. "Semua pertarungan harus dihentikan! Biarkanlah sejak saat ini kedamaian datang sebagai gantinya!" Odiseus lega mendengar kata-kata itu. Dengan senang hati ia menghentikan pengejaran terhadap musuh-musuhnya. Ia sadar bahwa dengan restu para dewa, semua pertempuran berakhir, pertempuran melawan tentara Troya, melawan berbagai monster, melawan badai, dan melawan musuh-musuh di kampung halamannya. Odiseus telah berhasil bertahan hidup melewati semua hal itu dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Sejak hari itu dan bertahun-tahun sesudahnya, kedamaian menyelimuti Pulau Ithaca, dan para dewa memandang dengan puas pada Odiseus, istri, dan putranya. TENTANG HOMER DAN ODISEI Pada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno percaya bahwa dunia dikuasai oleh para dewa dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita tentang para dewa dan dewi itu disebut mitos. Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk menjelaskan berbagai kejadian alam - seperti cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan ulang sebagai hiburan. Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang penyair buta bernama Homer. Homer hidup kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak orang percaya bahwa Homer adalah pengarang dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan Odisei. Illiad menceritakan tentang Perang Troya. Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut banyak berhubungan dengan petualangan Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan pulang dari Perang Troya. Dalam menceritakan kisahnya, Homer sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagian kecil sejarah juga terdapat dalam kisah Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa kisah Perang Troya ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi lima ratus tahun sebelum Homer lahir. Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer telah memengaruhi ke-susasteraan Barat. PARA DEWA DAN DEWI YUNANI KUNO Dewa yang paling sakti di antara seluruh dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang berkabut, Zeus berkuasa atas semua dewa dan manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah sanak keluarga Zeus. Saudaranya, Poseidon adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang lain, Hades adalah penguasa alam baka. Anak-anak Zeus - antara lain - adalah Dewa Apolo, Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan Artemis. Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus tidak melulu tinggal di puncak gunung. Mereka juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari umat manusia - seperti Odiseus. BEBERAPA DEWA DAN DEWI UTAMA -Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa -Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-laki Zeus -Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki Zeus -Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi -Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan Zeus -Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang, Seni dan Kerajinan Tangan; anak perempuan Zeus -Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari Persefone -Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak perempuan Zeus -Artemis Dewi Para Pemburu, anak perempuan Zeus -Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus -Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik danPuisi -Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki Zeus - ahli membuat tipuan -Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-laki Hera -Persefone istri Hades, ratu alam baka - anak perempuan Zeus -Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan CATATAN TENTANG ASAL-MUASAL CERITA Kisah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sampai saat ini, cerita Homer ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga mencapai ribuan kopi. Penulis telah mempelajari sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris, termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope, Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D. Rouse, Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen Mandelbaum, dan Robert Fagels. Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid pertama dari seri ini diambil dari buku kesembilan dan kesepuluh. Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk berperang melawan Troya bersumber dari seorang penulis yang hidup pada abad kedua setelah Masehi. Nama penulis itu adalah Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber dari cerita karangan Virgil yang berjudul Aeneid. Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya menyebutkan bahwa nama Athena terpahat di atas kuda kayu tersebut. SANG PENGARANG Mary Pope Osborne adalah pengarang buku serial paling laris yang berjudul Magic Tree House - Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis sejumlah novel sejarah dan menceritakan kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang sudah sangat dikenal, termasuk di antaranya Kate and Beanstalk - Kate dan Pohon Kacang dan New York's Bravest - Yang Terberani dari New York. Ia tinggal bersama suaminya di New York dan Connecticut. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net